FENOMENA KIYAI EXODUS JADI POLITISI

DR. H. BUDI SCHWARZKRONE.


Euforia kemenangan Reformasi meruntuhkan regim Orba melahirkan paradigma baru. Kiyai yang tidak tampil dengan ekspresi garang, tidak mengkritik keras Orba tanpa mengacungkan telunjuk atau kepalan tangan, tidak dianggap Kiyai Reformis. Banyak Kiyai yang sebelumnya bergaya “teduh” kalem dan karimatik, terjebak ikut tuntutan jaman berubah jadi garang di atas mimbar.
Apa penyebab banyaknya Kiyai exodus jadi Politisi ?. Salah satu faktor mungkin karena sebal pada budaya hipokrasi politisi jaman Orba yang “hanya” mendekati orang Pesantren lima tahun sekali hanya pada saat membutuhkan dukungan saat Pemilu, setelah kacumponan kabutuh menang Pemilu, kembali acuh menjauhkan diri. Ada sedikit perubahan pada era reformasi, tokoh Pesantren digaet dan diberi peran dalam tim sukses, dibebani tugas bak calo angkutan di terminal, disuruh teriak2 membujuk penumpang agar memilih dan memenuhi kendaraan (baca Parpol) yang telah ditentukan, setelah mobil penuh sesak, belenyeng mobil pergi meninggal si calo yang hanya diberi sekedar uang lelah buruh gogorowokan. Yang paling sering menyesakkan bagi lingkungan Pesantren adalah ketika politisi yang didukung setelah mencapai hasil maqosidana berhasil duduk dibangku legislatif atau eksekutif, politisi itu ternyata ingkar janji bahkan menghianati amanahnya sewaktu kampanye, bahkan harus menghadapi tuntutan hukum karena ia menjual kebenaran dan membela kesesatan.
Hal yang seperti itulah yang barangkali motivasi para tokoh Pesantren yang tadinya ruma sekedar diminta ngadu’akeun atau digaet jadi tim sukses untuk terjun langsung masuk gelanggang Politik daftar jadi Caleg.
Filosofi Islam mengatakan bahwa salah satu faktor pendukung tercapai Negara yang baldatun toyibatun warrobun ghofur adalah apabila ada kerjasama yang apik antara Ulama dengan Umaroh. Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Al Gazali mengatakan sebaik-baiknya Umaroh adalah apabila sering keluar masuk pintu mengunjungi Ulama, dan seburuk-buruknya Ulama apabila ia sering keluar masuk pintu Umaroh. Umaroh alias birokrat wal alias eksekufif atau pejabat itu adalah kekuasaan atau power penentu kebijakan. Sedang fungsi Ulama menurut masukkan dari sahabat saya seorang Kiyai muda pimpinan sebuah Pesantren besar di Manonjaya yang juga mencalonkan diri sebagai Caleg untuk DPR Pusat, Kiyai ini menjelaskan bahwa disamping menguasai dan mengajarkan ilmu agama, Ulama juga berfungsi sebagai mu’adib : membimbing, memberi motivasi, murrobbi : Imam, membimbing, mengarahkan, mujahid : memperjuangkan, terutama perbaikkan taraf kehidupan, membela ummat yang terhimpit kesulitan. Jadi, sah-sah saja kalau Kiyai nyalonkeun jadi caleg, kitu sambung Sang Kiyai, mu’adib, morrobbi dan mujahid adalah motivasi dia untuk mencalonkan diri. Para anggota MPR - DPR yang tengah menjabat sebagai Wakil Rakyat sekarang ini pun banyak yang punya latar belakang atau kaitan dengan Ponpes, terutama yang berasal dari Parpol Islam, pasti banyak yang paham dan memiliki motivasi yang sama dengan Kiyai sahabat saya itu, paling tidak mungkin pada awal nya begitu, tapi lambat laun motivasi itu luntur lalu habis terkikis oleh virus Hedonisme atau dalam istilah Kiyai disebut hubbud dunya (cinta duniawiyah), koq bisa begitu ? ya bisa saja, Ulama meski disebut sebagai pewaris Nabi tapi Ulama ‘kan manusia biasa yang tidak diwarisi perisai Ma’sum atau dibebas dari godaan sebagaimana para Nabi, jadi wajar saja kalau Wakil Rakyat yang berlatar belakang Pesantren bisa kena symptom (penyakit) yuhibbunal dunya wayyamsaunal akhirat (mencintai dunia melupakan akhirat) sebagai akibat lanjut dari symptom yuhibbunnal qurso wayyamsaunal qubro…mencintai kursi (kedudukkan – jabatan) melupakan tanggung jawab setelah dikubur. Maklum, Power tends corrupt…kekuasaan itu rawan godaan korupsi, korupsi di rumah Wakil Rakyat sudah jadi rahasia umum dan kerap terungkap di Pengadilan.
Era Reformasi membuktikan apa yang di prediksi oleh Rosululloh : akan datang suatu suatu saat yang berbeda dengan saat ini (era Rosul) dimana banyak yang menguasai ilmu fiqih tapi sedikit yang menguasai cara berkhutbah, pada masa itu akan lebih banyak orang yang ahli berkhutbah tapi semakin sedikit yang menguasai ilmu fiqih.
Yang lebih memprihatinkan dari krisis Ulama adalah adanya fenomena aneh pada era reformasi yang melahirkan ekslusifisme Ulama, komodifikasi Agama yang membangun image Ulama sebagai sosok elit. Komodifikasi yang melahirkan Kiyai-Kiyai Infoteinment dengan kualitas sebagaimana yang digambarkan Rosul, para pengelola Broadcast tidak perduli tausyiah Kiyai Infoteiment itu memberikan pencerahan atau tidak, bagi mereka yang penting bagi mereka pesona dan karisma Kiyai Infoteintmet mampu mendongkrak rating komersial naik. Konon untuk mengundang mereka mengisi pengajian diluar jadwal TV, panitia harus menyediakan dana paling sedikit 6 digit, belum termasuk tiket pesawat dan kamar mewah hotel.
Hilangnya keikhlasan dalam menjalankan kewajiban bukan saja melanda para Birokrat, Legislatif maupun para penegak Hukum, tapi juga dikalangan Ulama. Hal lain yang mungkin menjadi penyebab terjadinya hal yang dalam Al Qur’an digambarkan sebagai ..Tawannu ala ismi wal udwan…yang bisa diartikan “bersekongkol untuk kepentingan golongan” telah menyebabkan para Anggota Dewan bukannya mewakili kepentingan rakyat tapi lebih mengutamakan kepentingan Partai tempat dia bernaung. Kalau kata Partai hitam, dia harus bilang hitam juga. Barangkali ada baiknya para Ulama tidak bernaung dibawah Parpol tapi dibentuk Dewan Perwakilan Ulama, sebagaimana wadah DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dengan begitu Ulama bisa lepas tekanan kebijakkan Parpol agar lebih independen dalam mewujudkan motivasinya.
Ada pengalaman masa kecil sekitar awal tahun 50’an yang tidak akan saya lupakan. Saya diminta menemani Uwa yang ditugaskan jajap Ajengan Hamim di Cilingga. Ba’da Ashar Ajengan Hamim harus sudah sampai di Masjid H. Bakri. Sebelum dzuhur saya dan Uwa sudah berangkat jalan kaki, saat itu belum usum yang namanya uang transport, jalan antara Cihideung Balong – Cilingga masih berupa pesawahan dan bukit hutan kecil, harus mapah mapay galengan meuntas susukan. Setelah dijamu makan dan sholat dzuhur, langsung berangkat lagi. Di tengah perjalanan tiba-tiba Ajengan Hamim berhenti lalu nagog (duduk), lalu dia memberi tanda agar saya dan Uwa ikut nagok, ketika Uwa bertanya ada apa malah dijawab dengan isyarat agar jangan bersuara, ada 10 menit begitu, karena kuatir terlambat Uwa kembali bertanya, kembali dijawab dengan isyarat, baru kira-kira 5 menit kemudian Ajengan Hamim menjelaskan : “tuh tempo manuk tikukur deukeut galengan…” katanya sambil menunjuk sekelompok burung Tekukur yang makan tebaran pare bekas panen. “ mung urang ngaliwat pasti hiber…atuh mun kitu mah sarua we urang ngaganggu kana kanikmatan mahluk Allah”.
Subhanalloh, setiap ingat kejadian yang menggambarkan da’wah bil hal itu selalu timbul rasa kehilangan dan kerinduan, apakah para Al Ilm Ulama atau Ajengan model Ajengan Hamim itu masih ada ? mudah-mudah tulisan ini memberi motivasi pada para Ulama yang sorbannya berhasil palid ka Senayan. Barakallohulaka Kang Haji, sekalipun Sorban mungkin harus diganti dasi, semoga tetap teguh dalam menjalankan amanah,


Komentar

  1. DEmokrazy, berasal dari Yunani. Dan ternyata, ummat Islam, yg katanya memiliki agama superlengkap harus palid mengikuti systim buatan manungsa dari pemeluk non Islam tersebut.
    bergaya sbgmn mereka bergaya, berakhlaq sebagamana mereka berakhlak... bahkan dengan gaya jauh leih libelar dibanding yg dikrjakan oleh orang orang barat sekalipun...


    Rasulullah jauh jauh hari sudah mengingatkan bahwa ummat ini akan mengikuti sunnah sunnah ummat terdahulu, sampai sampai mereka masuk lobang biawak juga ummat islam akan ikut juga, para shahabat bertanya apakah ummat nashara wal Yahud yg diikuti itu? siapa lagi, jawab Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

    Dan memang peringatan beliau itu sekarang sdh jadi kenyataan.

    BalasHapus
  2. setuju sekali sob atas apa yang anda katakan...!!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Isi Komentar Boss...!!!

Postingan Populer