LSM PHP: “Qanun Jinayat” Di NAD Tegakkan Wibawa Hukum

Potong tangan bagi pencuri bagi koruptor di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dinilai kalangan LSM menegakkan wibawa hukum di Aceh

Hidayatullah.com--Pemberlakuan “Qanun Jinayat” berupa potong tangan bagi pencuri (koruptor) di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) patut didukung karena menjadi terobosan untuk menegakkan wibawa hukum dalam memberantas berbagai kemaksiatan.

“Seluruh elemen di NAD, baik gubernur, bupati, walikota, anggota dewan dan masyarakat harus merapatkan barisan agar qanun itu semakin berwibawa,” kata Presiden LSM Perjuangan Hukum dan Pembangunan (PHP), HMK. Aldian Pinem, SH, MH di Medan.
Sebelumnya, delapan fraksi yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menyetujui Rancangan Qanun tentang Hukum Jinayat (tindak pidana) dan Hukum Acara Jinayat untuk ditetapkan menjadi Qanun (Perda), Senin (14/9). Qanun tersebut berisi ketentuan hukuman rajam bagi pelaku zinah dan potong tangan bagi pencuri.

Dalam sidang pembacaan pendapat akhir fraksi di gedung utama DPRA di Banda Aceh itu, para anggota legislatif menegaskan tidak ada alasan untuk penundaan pengesahan Rancangan Qanun tersebut menjadi Qanun.

Menurut Aldian Pinem, sudah banyak perangkat hukum yang ada di Indonesia selama ini yang mengatur hukuman bagi pelaku zinah dan prostitusi serta pencurian, termasuk mencuri uang negara (korupsi). Hanya, tidak satu pun peraturan-peraturan tersebut memiliki unsur daya tangkal dan memberikan rasa takut atau menimbulkan efek jera. Namun, dalam Qanun Jinayat yang diberlakukan di NAD itu dinilai mengandung unsur tersebut karena memuat sanksi-sanksi yang menakutkan.

itu, seluruh elemen harus mendukung pemberlakuan Qanun Jinayat tersebut. “Itu merupakan sebuah langkah positif dan bentuk terobosan hukum,” katanya.

Ia menambahkan, pemberlakuan Qanun Jinayat di NAD juga dinilai wajar sebagai bentuk aplikasi dari UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi NAD.

Dalam UU tersebut, negara mengakui keberadaan provinsi NAD sebagai wilayah yang memiliki karakter dan budaya Islam yang kuat sehingga sering disebut dengan “Serambi Mekkah”.

Sebagai perbandingan kota suci dalam Islam itu, tentu saja wilayah NAD harus bersih dari perbuatan maksiat seperti perzinahan (prostitusi) dan pencurian, termasuk korupsi. Karena itu, langkah pemberlakuan Qanun Jinayat patut didukung guna merealisasikan sebutan Serambi Mekkah tersebut, katanya.

Sebelumnya, kalangan ulama di Provinsi Aceh juga telah meminta pemerintah serius menerapkan Qanun  tentang Hukum Jinayat dan Hukum Acara Jinayat yang telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) itu.

“Pemerintah harus serius menerapkan Qanun itu sehingga harapan rakyat berlakunya Syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) segera terwujud di Aceh,” kata Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Tgk Faisal Aly di Banda Aceh, Rabu kemarin. Hanya saja, langkah ini belum tentu pekerjaan mudah. Beberapa media asing --yang sejak awal sangat alergi hukum Islam -- sudah mulai mempermasalahkan. BBC, misalnya, dalam pemberitaan terbarunya mengatakan, dasar aturan ini dianggap bertentangan dengan semangat penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). [ant/hid/www.hidayatullah.com]

Komentar

Postingan Populer